“Alih status tanah hak pakai (HP) milik Pemerintah Kota (Pemkot) Solo itu awalnya digagas (Presiden) Joko Widodo saat masih menjabat sebagai Wali Kota Solo. Kemudian dilanjutkan saat era Wali Kota F. X. Hadi Rudyatmo, dan rampung di era Wali Kota Gibran. Proses untuk mengubah kepemilikan lahan dari milik Pemkot Solo menjadi milik perorangan dengan sertifikat hak milik itu butuh proses yang sangat panjang dan lama. Bahkan, sampai melewati tiga kali pergantian wali kota, baru terselesaikan. Itu menunjukkan Pemkot Solo memperhatikan warganya yang memang benar-benar membutuhkan lahan dan sesuai prosedur undang-undang,” kata Kepala Seksi Pengendalian dan Penanganan Sengketa Pertanahan Kantor ATR/BPN Solo Slamet Suhardi (Sumber: Solopos, https://www.solopos.com/pemkot-solo-pernah-sekali-lepas-tanah-hp-untuk-warga-prosesnya-panjang-1371760).
Tanah dengan status HP Nomor 16 milik Pemerintah Kota Surakarta memiliki luas sekitar 5.000 meter persegi, terletak di RW 3 Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, masuk dalam Kawasan Semanggi, yang saat ini sedang dalam proses penataan. Sejak 1998 hingga kini, lahan yang semula sempat digunakan sebagai areal lahan pertanian itu bernama HP 16 itu berubah penuh dengan hunian liar rumah warga tanpa izin. Kumuh, pastinya. Namun bagi kaum miskin kota, masalah yang mendasar adalah ketidakmampuan mengakses lahan yang layak dan jaminan untuk memenuhi kebutuhan perumahan mereka.
Terhitung sejak 2016, Pemkot Surakarta mulai berinisiatif menata ulang lahan tersebut. Tentu hal ini jadi kekhawatiran tersendiri buat warga penghuni tanah HP 16. Perlawanan dilakukan dengan memasang spanduk, mengancam pihak Pemkot dan kelurahan yang mulai mendata warga penghuni tanah HP 16. Warga bergerak menolak, karena tentu takut diusir. F. X. Hadi Rudyatmo, Wali Kota Surakarta saat itu, tentu tidak tinggal diam. Dia dan jajarannya mensosialisasikan kepada warga tentang maksud dan tujuan Pemkot menata kawasan tersebut. Selepas itu ketegangan mereda, karena warga penghuni kawasan tersebut berkeyakinan tak digusur, melainkan ditata dan akan diberi legalitas sebagai bukti kepastian bermukim. Jaminan hak atas lahan itu pula yang mendorong warga setempat memperbaiki rumah dan lingkungannya.
Cerita tentang “perjuangan” menata HP 16 sebenarnya dimulai dari sini. Pascapembuatan rencana tapak (site plan) kawasan, Pemkot segera menindaklanjuti melalui Kelompok Kerja (Pokja) Pengembangan Kawasan Permukiman (PKP) Kota Surakarta untuk merealisasikan gagasan penataan kawasan HP 16. Hasil pendataan sebagian besar warga mencatat rata-rata para penghuni sudah menetap lebih dari 10 tahun di HP 16. Sebagian besar warga penghuni akhirnya diusulkan untuk mendapatkan hak legalitas tanah berupa Hak Guna Bangunan (HGB) atas Hak Pengelolaan (HPL). Hak tersebut sesuai komitmen Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menjalankan konsep Reforma Agraria yang termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 86/2018. Intinya adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset.
Sayang, niat baik Rudyatmo masih berbenturan aturan hukum. Menurut kajian Biro Hukum Pemkot Surakarta, tak ada peraturan atau undang-undang yang mengatur perubahan status tanah dari HP ke HPL agar bisa mendapatkan HGB. Solusinya adalah Wali Kota mesti menggunakan diskresi, atau hak untuk mengambil keputusan dalam situasi yang dihadapi, tepatnya dalam masalah legalitas lahan tersebut. Dan Rudyatmo, berkomitmen melaksanakannya.
Kawasan Semanggi, khususnya HP 16, merupakan lokasi kumuh terluas di Kota Surakarta. Jumlah total warga yang bermukim di tempat itu mencapai 579 kepala keluarga (KK). Sebanyak 460 KK warga terdampak kegiatan (WTP) di antaranya telah memiliki Kartu Tanda Penduduk Kota Surakarta. Tercatat, ada 13 KK warga terdampak di Rukun Warga 07 Kelurahan Jamsaren yang tidak berhak atas uang bongkar dan biaya sewa rumah. Selain itu masih ada 18 dari 23 KK lainnya yang tinggal di bantaran kali, tapi juga tidak berhak atas uang bongkar dan biaya sewa rumah. Setelah verifikasi, hanya ada 557 KK yang berhak bermukim kembali di HP 16 pascapenataan.
Pelaksanaan pemanfaatan HP 16 sebenarnya sudah sesuai visi dan misi wali kota, yakni mewujudkan Surakarta nyaman melalui pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman, pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum perkotaan yang berkeadilan, serta berwawasan kependudukan, lingkungan, dan budaya. Lantaran kesesuaian ini pula Rudyatmo dan Pokja PKP Kota Surakarta menyambut konsep kegiatan penataan dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Terintegrasi 2021 melalui Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) yang dikeluarkan Kementerian PUPR untuk diikutsertakan dalam rencana pembiayaan. Sedianya, rencana pendanaan akan dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah II Tahun Anggaran 2020 dan 2021 sesuai tugas pokok dan fungsi organisasi perangkat daerah (OPD) yang akan juga bersinergi dalam penataan HP 16. (Sumber: https://kotaku.pu.go.id/view/8115/ini-nasib-sebagian-kaum-papa-di-surakarta) .
Penanganan kumuh Kota Surakarta, khususnya di Kawasan Semanggi, di samping persoalan lahan di HP 16 yang sudah mulai bisa digunakan sebagai perumahan dan permukiman. Untuk kawasan kumuh lain yang berada di lahan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) pemberian izin penggunaan lahan sudah turun Kepmen no 192/KPTS/M/2021. Penataan kumuh di Kawasan Semanggi juga membongkar dan merelokasi beberapa rumah yang berada di atas saluran drainase dan lahan ilegal lainnya. Langkah Pemkot Surakarta konsisten dengan kemauan politik untuk menciptakan kepastian bermukim bagi warga marginal yang tinggal di kawasan kumuh dengan status lahan ilegal. Hal ini diyakini bisa mempercepat penanganan kawasan kumuh untuk ditata menjadi kawasan perumahan dan permukiman yang layak huni.
Gambaran Pelaksanaan Penanganan Kumuh di Kawasan Semanggi
Kawasan Semanggi merupakan kawasan permukiman di tepi air (Sungai) Bengawan Solo, atau bantaran. Kawasan ini tergolong permukiman dengan kepadatan tinggi. Luas kumuh Kawasan Semanggi berdasarkan SK Wali Kota Surakarta Nomor: 413.21/38.3/1/2016 sebesar 76,03 Ha dan dalam rencana penanganan skala kawasan terdiri dari beberapa segmen.
Segmen Penanganan HP 16
Penanganan kumuh di Kawasan Semanggi HP 16 (RW 3 Kelurahan Mojo) dilaksanakan dengan pola peremajaan melalui Program DAK Integrasi secara bertahap tahun 2021-2022. Pada 2021, tahap I, dengan dana sebesar Rp 24 miliar, melalui dana yang bersumber dari APBD II dirampungkan penyusunan site plan dan LARAP, UPL/UKL, DED, KDLH, biaya bongkar, pematangan lahan, sewa huntara, APAR dan instalasi listrik. Sedangkan melalui dana yang bersumber dari DAK Terintegrasi, dirampungkan pekerjaan rumah, master meter, jalan, drainase, dan IPAL Komunal. Adapun tahap II, yang dilakukan di tahun 2022, dengan alokasi anggaran Rp 23.686.000.000. Dalam kegiatan ini juga akan ada alokasi APBD senilai Rp 3,6 miliar, yang diwujudkan dalam kegiatan pembangunan 66 unit rumah dan pemasangan 314 unit instalasi listrik.
Penataan Kawasan Semanggi di RW 3 Kelurahan Mojo, beririsan dengan kawasan HP 16 (lokasi DAK Integrasi) didahului dengan merevitalisasi/menormalisasi saluran jaringan drainase yang bertahun-tahun menyebabkan banjir, mengingat drainase sabuk yang menuju Sungai Bengawan Solo diduduki oleh 22 KK hunian liar. Kegiatan ini didanai dari berbagai sumber pendanaan, seperti APBN murni senilai Rp 11 miliar yang digunakan untuk penataan drainase dan sumur pompa, maupun dari APBD II Kota Surakarta yang membangun jalan dan juga sambungan drainase, serta BPM KOTAKU untuk membangun drainase di permukiman, serta pembangunan tanggul parapet sungai BBWS.
Sedangkan untuk warga yang terdampak ada 22 KK (rumah) yang harus direlokasi. Mereka yang semula bermukim di atas saluran drainase dipindahkan ke hunian sementara untuk 22 KK yang difasilitasi Pemkot dengan berbagai sumber dana, Di antaranya, tanah milik DPC PDI Kelurahan Mojo, biaya pembangunan rumah sementara dari CSR RS Bung Karno, besi untuk pembangunan rumah dari bongkaran bangunan kios darurat saat kebakaran Pasar Klewer, MCK komunal 6 kamar dari CSR PDAM, panel listrik portable dari PLN. Seluruh 22 KK yang terkena dampak pemugaran dari RW 3, yang sebelumnya tinggal di huntara direncanakan akan mendapat hunian menetap (Huntap) di lokasi penataan eks HP 16 melalui program DAK integrasi tahap 1.
Segmen RW 01 Mojo eks RW 23 Kelurahan Semanggi
Pada 2018 mulai direncanakan penanganan permukiman kumuh skala kawasan prioritas dengan pola peremajaan yang berlokasi di Segmen Mojo RW 1 (Eks RW 23 Semanggi) dengan luas kumuh 3,72 Ha, dengan total biaya penanganan sekitar Rp 40 miliar dari berbagai sumber. Penyiapan warga dimulai sejak awal 2018 melalui beberapa kegiatan sosialisasi baik di level lingkungan, kelurahan, kecamatan dan kota. Pemetaan lokasi verifikasi warga terdampak hingga penyusunan rencana teknis dilaksanakan bersama, antara konsultan kotaku, warga, pemkot dan stakeholder lainnya. Berbagai kegiatan dilaksanakan untuk mematangkan rencana dari mulai pengkajian pengurangan kumuh, pematangan lahan, rencana huntara bagi warga terdampak.
Lokasi penataan kawasan ini sebagian merupakan lahan BBWS yang perlu pelepasan dari aset Kementerian Keuangan menjadi aset kota dan nantinya dilepas menjadi aset warga supaya bisa dibangunkan rumah di atasnya, sedangkan sebagian lahan lainnya merupakan milik warga. Awal 2019 Pemkot bekerja sama dengan Puskim Bandung mendirikan Huntara dengan model RISHA senilai Rp 10,6 miliar yang diperuntukan bagi 56 KK WTP konsolidasi di lahan BBWS.
Setelah semua warga terdampak pindah dan menghuni Huntara, pada 2019 warga langsung membongkar rumah lamanya, sehingga lahan menjadi kosong dan bersih. Pada 2020 dilakukan pengukuran pematangan lahan dan penyusunan perencanaan teknis oleh Pemkot dan Tim Kotaku beserta stakeholder lainnya guna penyiapan pembangunan kegiatan skala kawasan yang akan dibiayai dari Kotaku. Pembangunan konstruksi dilaksanakan pada 2020, mulai dari jaringan jalan, pedestrian, drainase, air bersih, sanitasi, persampahan, dan ruang terbuka publik.
Pada 2021 setelah semua kegiatan infrastruktur terbangun, dilanjutkan dengan pembangunan rumah baru 56 unit di lokasi lahan eks BBWS yang sudah pelepasan aset ke Pemkot, dana pembangunan rumah bersumber dari CSR yaitu 47 unit dari PT. SMF dan 9 unit dari CSR Kota Surakarta. Sementara pada lahan milik warga, dilakukan peningkatan kualitas 30 unit rumah dan 68 unit pemeliharaan (beautifikasi) dari BSPS. Saat ini alih aset kepemilikan lahan dari Pemkot ke warga masih dalam proses dan penataan terus berlanjut, hingga kawasan semanggi RW 1 Kelurahan Mojo atau kawasan eks RW 23 Kelurahan semanggi tersebut menjadi permukiman layak huni, bahkan menjadi destinasi wisata baru penataan kawasan kumuh di Kota Surakarta.
Segmen Kawasan Semanggi Utara RW 2, 3, 4, 5 Kelurahan Semanggi
Di kawasan RW 2, 3, 4, 5 ini sebagian besar lahan adalah milik warga dan sebagian lagi milik BBWS. Lahan BBWS ini masih proses pelepasan aset ke Pemkot dan nantinya menjadi aset warga agar lahan bisa dimanfaatkan untuk pembangunan rumah. Di kawasan ini pola penanganan kumuh dilakukan melalui dua pola, yaitu pola pemugaran di kawasan milik warga, dan di lahan BBWSBS dengan menggunakan konsep urban renewal (peremajaan kota) Land Consolidation.
Pada 2021-2022 pelaksanaan pembangunan fisik secara terpadu dari berbagai sumber pembiayaan dengan total pembiayaan sekitar Rp 38 miliar, yakni untuk pemberian uang sewa, pematangan lahan, perbaikan jalan aspal, MCK, sambungan air bersih dari Disperum KPP, serta pembangunan drainase, jalan paving, pedestrian dan IPAL Komunal dari Program Kotaku. Kemudian, sertifikat Prona dari BPN dan Disperum KPP. Sementara itu, listrik, hidran kering, lampu dari DLH dan Damkar. Ditambah, furnitur jalan dari DPUPR, ruang terbuka hijau dari Kotaku, Dinas Pariwisata, dan DLH. Selain itu, sosialisasi PHBS, P2MBG, mitigasi bencana kebakaran, pelatihan keterampilan UMKM dari DLH, Damkar, UPT Puskesmas, Dinas PPPAPM, dan terakhir, pembangunan 150 unit rumah dari CSR Shopee.
Faktor Pendukung Suksesnya Kota Surakarta dalam Penanganan Kumuh
Secara keseluruhan bisa disimpulkan factor pendukung suksesnya Surakarta menangani kumuh adalah pertama, langkah Pemkot Surakarta yang konsisten dengan kemauan politik untuk menciptakan kepastian bermukim bagi warga marginal yang tinggal di kawasan kumuh. Kedua, penerapan kolaborasi melibatkan berbagai sumber daya pada setiap tahapan kegiatan penanganan. Ketiga, peran pendamping Kotaku yang berkomitmen serta memiliki kapasitas advokasi, mediasi dan fasilitasi terhadap berbagai sumberdaya, dan keberanian untuk berinovasi. [KMP-2]
Penulis: Agus Sudirman, Program Financing and Institutional Collaboration Specialist, KMP Kotaku
Editor: Nina Razad
Belajar dari pelaksanaan kolaborasi pembangunan rumah tidak layak huni antara Direktorat PKP DJCK, P...
Kabupaten Tangerang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang sudah memiliki Peraturan Daera...